Rabu, 18 Mei 2011

Umrah Salah Kostum

Salah satu hal yang cukup membuat kepala tertunduk karena malu ketika berada di Masjidil Haram adalah pada saat ada jama’ah umrah asal Indonesia berlenggok masuk ke Masjidil Haram dengan memakai celana legging. Meskipun atasannya memakai mukena tapi hanya bisa menutupi hingga lutut saja, selebihnya dari lutut ke bawah masih terlihat kakinya terbalut legging yang ketat. Memakai legging memang tidak dilarang, tapi mempertontonkan aurat perempuan dilingkungan Masjidil Haram jelas tidak bisa ditolerir.

Di Indonesia pemandangan serupa dimana perempuan memakai legging masuk masjid bukan perihal baru dan menarik perhatian. Tetapi untuk memasuki rumah ibadah tentu ada etikanya dari mulai cara berpakaian sampai tingkah laku. Apalagi Masjidil Haram Baitullah, dimana seluruh ummat Islam sedunia berkiblat kesana ketika menunaikan ibadah salat bahkan menjadi tujuan berziarah yang utama bagi yang hendak melaksanakan umrah atau haji. Sudah barang tentu selaku muslim kita sangat patut untuk menghargai dan menghormatinya dengan cara berpakaian yang sopan dan pantas sesuai syari’at Islam pada saat berada di dalamnya.

Belum lagi pada saat yang sama terlihat reaksi orang-orang yang menunjukan sikap tidak suka, ada yang menundukan kepala, tapi ada juga yang lantas membicarakannya dengan sedikit mencemooh. Kalau sudah seperti itu, yang terlontar dari bibir-bibir mereka adalah penilaian negatif tentang perempuan muslim Indonesia. Yang mengherankan lagi, sang pemakai legging terlihat sangat percaya diri berlenggok bak peragawati melewati barisan jama’ah yang di halaman menuju ruang dalam masjid, tidak nampak sedikit pun sikap risih atau canggung karena dia berdandan sangat bertolak belakang (salah kostum) dengan perempuan lainnya yang berpakaian longgar dan sesuai syari’at. Padahal bisa dipastikan kalau dia datang ke pesta akan merasa risih dan malu kalau salah kostum. Tapi masuk Masjidil Haram salah kostum malah terlihat bangga karena bisa menarik perhatian orang dari berbagai suku bangsa. Khusus untuk di lingkungan Baitullah, hal seperti ini sangat keterlaluan. Seharusnya kebiasaan-kebiasaan dilingkungan rumah tidak serta merta dilakukan di tempat lain yang jelas-jelas berbeda adat dan aturannya.

Berziarah ke Baitullah Al-Haram untuk menunaikan ibadah umrah bagi masyarakat kita secara umum bukan perkara yang mudah terutama faktor biaya yang tergolong tidak murah. Oleh karena itu kesempatan pada saat berada di Makkah betul-betul dimanfaatkan untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla. Bukan malah memperbanyak belanja dan jalan-jalan. Tidak sulit kalau kita mau belajar menjunjung tinggi nilai-nilai yang biasa ditanamkan di lingkungan Baitullah Al-Haram dengan tidak berpakaian yang mengganggu kenyamanan beribadah orang lain misalnya. Melaksanakan ibadah umrah bagi masyarakat Indonesia “yang sok modis” itu tidak cukup hanya mempelajari tata cara melaksanakan ibadah umrah, tetapi harus dilengkapi dengan tuntunan berpakaian yang sesuai syari’at Islam agar pada saatnya nanti di Makkah atau Madinah tidak salah kostum. Ini harus jadi catatan bagi para pembimbing jama’ah umrah dalam mempersiapkan jama’ahnya sebelum berangkat ke Baitullah Al-Haram. Para penyelenggara perjalanan ibadah umrah tidak hanya berlomba menjual paket tapi harus diimbangi dengan optimalisasi bimbingan ibadahnya. Kenyamanan transportasi dan akomodasi memang penting, tetapi kalau tidak diimbangi dengan pelayanan kualitas ibadahnya niscaya akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kelak. Perjalanan umrah ke Baitullah Al-Haram bukan perjalanan wisata biasa, tetapi perjalanan wisata rohani yang bertujuan untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Khaliq dengan bermuhasabah dan bertekad untuk mengoptimalkan kualitas beragama secara benar serta bersungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari. Itulah salah satu tanda kalau umrah kita MABRUR. Wallahu’alam.

Selasa, 08 Maret 2011

Repotnya Punya Murid Cerdas

Repotnya punya murid cerdas, pada saat proses belajar mengajar prilakunya terkadang sangat merepotkan. Baru saja kita menjabarkan satu permasalahan dia sudah nyerocos dengan lebih dari tiga pertanyaan yang terkadang isi pertanyaannya tidak mudah untuk kita jawab. Kita menjawab satu pertanyaan, dia sudah mendesak dengan pertanyaan lainnya. Merepotkan memang kalau kita menghadapinya tanpa dilandasi kesabaran dan kesiapan sebagai seorang pendidik. Tapi kalau kita sikapi dengan penuh perhatian dan sabar malah akan sangat mengasyikan, dimana kita bisa terpancing untuk menggali lebih banyak pengetahuan dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul secara spontan dan polos dari mulut kecil anak didik kita yang terkadang di luar dugaan.
Proses belajar mengajar menjadi lebih hidup karena antara guru dengan murid dapat saling memberi dan menerima. Tapi kebanyakan murid cerdas seperti itu kurang mendapat perhatian dan terlayani secara maksimal di kelas karena guru seringkali membatasi materi pelajaran per topik pembahasan. Sehingga ketika muncul pertanyaan-pertanyaan yang melebar ke luar dari topik pembahasan tersebut guru kurang menanggapinya (bisa karena tidak sesuai dengan topik pembahasan bisa juga karena guru tidak siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut). Hal ini tentu saja akan membuat murid kurang bersemangat mengikuti pelajaran alias prustrasi. Tetapi kalau tetap ditanggapi dengan sabar serta penuh kesiapan hingga sejauh mana murid ingin tahu, murid merasa dihargai dan proses belajar mengajar akan berjalan sesuai harapan.
Bagaimana dengan murid yang tidak cerdas? Merepotkankah dia? tentu saja merepotkan kalau kita tidak siap menerima kekurangannya serta tidak sabar dalam membimbing dia belajar. Bayangkan ketika kita menerangkan pelajaran sampai kering tenggorakan dia masih juga sulit untuk mengerti dan memahaminya. Bayangkan ketika ulangan harian teman-temannya mendapat nilai 9 dia cuma sanggup memperoleh nilai 5. Belum lagi kalau murid yang tidak cerdas itu nakalnya di atas rata-rata. Sebagai pendidik profesional hal tersebut tentu saja memicu kita untuk mencari solusi terbaik sesuai kondisi sehingga tujuan pembelajaran di kelas yang muridnya terdiri dari berbagai tingkat kecerdasan bisa dicapai sesuai target yang telah ditetapkan dalam RPP.
Memaksa guru untuk bisa mencetak murid dengan kepandaian yang tinggi adalah sesuatu yang sulit, karena tidak semua murid diberi anugerah kemampuan menyerap pelajaran dengan cepat. Tetapi barangkali untuk mendidik murid supaya memiliki motivasi, semangat belajar serta mengajarinya konsep dan kerangka pemecahan masalah melalui kata belajar, belajar dan belajar adalah lebih realistis. Mendidik semua murid yang memiliki latar belakang berbeda agar memiliki kemampuan tinggi di atas rata-rata adalah sesuatu yang hampir mustahil.
Ada beberapa langkah yang bisa kita coba untuk diterapkan dalam berinteraksi dengan murid-murid kita baik di kelas maupun di luar kelas, diantaranya adalah :
·         Mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar di kelas, karena pada saat berada di dalam kelas murid lebih mudah dikonsentrasikan untuk belajar. Kegiatan di luar kelas sebagai pelengkap kegiatan di dalam kelas saja. Ketika di luar kelas murid cenderung terpecah konsentrasinya pada selain pelajaran sehingga agak sulit mengarahkan mereka pada fokus yang sudah ditetapkan semula.
·         Pancing potensi murid, tidak sedikit murid yang memiliki potensi luar biasa jadi biasa-biasa saja karena apa yang sebenarnya mereka miliki tidak tergali dengan baik. Potensi yang seharusnya tumbuh dan berkembang menjadi terpendam karena kurangnya perhatian. Sebagai pendidik, guru dituntut untuk tahu bagaimana cara memancing potensi yang ada pada diri anak didiknya.
·         Ibarat konduktor dalam sebuah orkestra, guru memegang penuh kendali dari alat musik yang dimainkan. Tetapi tidak sampai terlibat langsung memegang alat musik.
·         Ketika di dalam kelas, guru hendaknya mengedepankan interaksi antar sebaya dan menciptakan kondisi agar setiap murid berani mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya. Misalnya, ketika diskusi di dalam kelas guru sebagai fasilitator tidak langsung menjawab manakala muncul pertanyaan.
·         Menumbuhkan pemahaman pada diri anak didik, bahwa apa yang sudah, sedang dan akan dipelajarinya selama di sekolah adalah untuk kepentingannya, mengajar bagaimana caranya agar anak didik kita termotivasi untuk mau belajar.
·         Hubungan profesional antara guru dan murid di sekolah dijalin dengan membangun hubungan emosional di luar sekolah sehingga terbangun komunikasi yang baik di sekolah maupun di luar sekolah.
·         Tidak sekali-kali mempermalukan anak didik kita di kelas maupun di luar kelas, karena hal ini akan sangat menjatuhkan harga dirinya sehingga dampak psikologinya sangat buruk.
Memiliki anak didik yang cerdas atau tidak cerdas, bagi seorang pendidik adalah berkah, sejauh kita bisa menerima mereka dengan penuh kesabaran dan rasa ikhlas, menyiapkan segala hal secara maksimal berkaitan dengan materi pembelajaran yang akan kita sampaikan. Teguh menjaga amanah yang dipercayakan masyarakat untuk memberikan pelayanan pendidikan yang optimal agar anak didik menjadi generasi yang berdaya guna dan berhasil guna dalam ridlo Allah SWT. Wallahu’alam.

Minggu, 06 Maret 2011

Dari Pada Jadi TKI Ilegal

Bekerja sebagai TKI di Makkah dengan kesibukannya yang beragam tidak lantas membuat malas berolah raga. Beberapa warga masyarakat mukimin Indonesia di Makkah yang bekerja di sektor formal maupun informal, pada setiap hari Kamis dan Jum’at yang merupakan hari libur nasional di Saudi Arabia rutin melakukan olah raga.
Sejak ba’da shalat Subuh hingga matahari mulai meninggi (antara pukul 06.30-09.00) mereka memanfaat lokasi disela-sela gudang Perusahaan Bin Laden Rosaifah untuk sekedar menghilangkan kepenatan dengan bermain badminton. Selain berolah raga, kesempatan berkumpul bersama sesama TKI ini juga dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi serta berbagi pengalaman. Sehingga bagi TKI yang baru datang, bisa menimba pengalaman kepada yang sudah puluhan tahun di Saudi Arabia.
Sebenarnya bagi para TKI yang bekerja disektor informal/perumahan, tidak ada istilah mereka libur tetapi pada hari libur tersebut mereka agak senggang karena pada pagi hari mereka rata-rata bebas tugas karena tidak perlu mengantar majikan atau anak majikan ke sekolah. Sehingga mereka bisa menyempatkan diri datang ke lapangan untuk bermain badminton. Tetapi namanya juga bekerja melayani majikan, kadang-kadang sedang seru-serunya bermain dilapangan tiba-tiba handphonenya berdering dipanggil majikan untuk membeli sarapan atau belanja ke Supermarket dan dengan terpaksa lapangan harus ditinggalkan dan kembali melayani sang majikan. Kejadian seperti itu merupakan hal yang biasa dan tidak menyurutkan mereka untuk kembali ke lapagan badminton pada kesempatan berikutnya.
Kegiatan seperti ini sudah berjalan lebih dari lima tahun dan yang mengikutinya pun berganti-ganti meski tidak sedikit muka-muka lama yang bertahan. Daripada berpikir untuk kabur dari majikan karena nggak betah akhirnya jadi TKI bermasalah , lebih baik ngumpul-ngumpul di lapangan badminton. Badan bugar pikiran segar dan siap beraktivitas menghadapi majikan dengan beragam perintah dan pernak perniknya. BRAVO TKI !

Selasa, 01 Maret 2011

Guru, Orang Tua dan Masyarakat: Bersama dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan

Guru adalah salah satu komponen dalam sebuah masyarakat kecil yang disebut sekolah. Berdasarkan hasil sejumlah penelitian pendidikan, guru diyakini sebagai salah satu faktor dominan yang menentukan tingkat keberhasilan anak didik dalam melakukan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta internalisasi etika dan moral. Oleh sebab itu, rasanya tidak terlalu berlebihan apabila masyarakat yang mempunyai keperdulian terhadap pendidikan tidak melepaskan perhatiannya pada berbagai dimensi yang berkaitan dengan masalah guru.
Masalah-masalah tersebut yang sering mendapat sorotan diantaranya adalah kurang memadainya kualifikasi dan kompetensi guru, rendahnya tingkat kesejahteraan guru, kurangnya penghargaan terhadap profesi guru, serta rendahnya kinerja dan komitmen guru. Terlepas dari berbagai kelebihan serta kekurangannya, seyogyanya kita harus menyadari serta menerima kondisi guru saat ini apa adanya. Dan yang terpenting harus segera dipayakan penyiapan figur guru masa depan yang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Pada dasarnya, dalam jiwa guru sudah tertanam kesiapan untuk menyukseskan segala upaya perbaikan pendidikan, akan tetapi tentu saja perlu melakukan pendekatan yang lebih menekankan pada hal yang dapat menyentuh hak dan martabat guru. Dengan cara demikian, guru sebagai pelaku terdepan pendidikan akan merasa diikutsertakan bukan hanya sebagai objek pelengkap penderita tetapi lebih dari itu dilibatkan sebagai subjek.
Tidak bisa dipungkiri, selama ini guru telah berusaha untuk mewujudkan kinerjanya sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Namun, guru masih tetap dan terus dituntut tanpa keberpihakan untuk memperhatikan sisi lainnya sebagai manusia biasa. Kondisi seperti ini sudah barang tentu membuat guru tersandung. Sanjungan-sanjungan yang terlontar “sebagai pahlawan tanpa tanda jasa” misalnya, malah membuat guru terbelenggu bahkan terpasung.
Belum lagi beberapa persoalan eksternal menghadang, semisal krisis etika dan moral anak bangsa. Persoalan mental, moral dan karakter anak bangsa yang lemah akan berpengaruh pada hasil pendidikan. Pendidikan yang lemah akan menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang buruk. Moral yang buruk menyebabkan kita mudah terbujuk untuk melakukan pekerjaan yang buruk, pola berpikir tidak terbangun dengan baik sehingga acapkali mengedepankan emosi dan mudah terprovokasi.
Guru memang dituntut untuk memiliki mental, moral dan karakter yang baik, sehingga tanpa mata pelajaran khususpun, pendidikan moral, mental dan karakter itu sudah terintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, memberikan teladan bagaimana berdisiplin, bertanggung jawab dan berdemokrasi. Hubungan guru dengan murid, tidak hanya terbatas pada hubungan profesional tetapi juga hubungan emosional. Tugas guru di kelas bukan hanya mengajar mata pelajaran tetapi juga mengajar bagaimana agar anak mau belajar.
Harus diakui, guru sering tidak konsisten dalam menjadi teladan, tidak lagi bisa digugu dan ditiru. Hal ini akan sangat melemahkan keberadaan guru itu sendiri. Saat dimana SDM guru lemah, maka kita tidak bisa berharap akan menghasilkan siswa yang ber SDM kuat.
Seiring dengan itu, peran orang tua juga sangat signifikan. Bagaimana membangun jalinan kerjasama yang saling mendukung antara rumah, masyarakat dan sekolah. Tiga wilayah ini sebagai basis pendidikan. Terutama di rumah, tempat sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan.
Oleh sebab itu, pendidikan tidak hanya terbatas pada proses pengajaran. Sejalan dengan itu, akan nampak betapa pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak melalui kebiasaan sehari-hari. Misalnya, dirumah anak-anak sudah dibiasakan untuk berdemokrasi, berdiskusi dengan menghormati perbedaan serta pendapat orang lain, maka hal tersebut akan dipraktikannya dimanapun dia berada.
Sebagian dari upaya pendidikan memang dapat dilimpahkan kepada lembaga pendidikan atau orang lain. Akan tetapi hanya sebatas yang bersifat pengajaran, yakni segi-segi pengetahuan yang bersifat kognitif. Sekalipun ada guru yang juga sekaligus berhasil memerankan pendidikan yang lebih bersifat afektif, namun segi afektif itu akan lebih mendalam diperoleh anak di rumah melalui orang tua dan kondisi umum lingkungan keluarganya sendiri. Jadi meskipun ada guru yang mampu bertindak sebagai pendidik, tetapi peran mereka tidak akan pernah bisa menggantikan peran orang tua secara sepenuhnya. Dan peran orang tua adalah peran tingkah laku bukan peran pengajaran.
Selanjutnya partisipasi masyarakat tidak kalah strategisnya dalam pelaksanaan berbagai program pendidikan sebagai kekuatan kontrol. Masyarakat diminta atau tidak akan melakukan kontrol bagi pelaksanaan dan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah dimana mereka berada. Untuk itu, perlu adanya upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini menjadi sangat penting di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita khususnya yang berada di luar negeri sudah mulai terkontaminasi budaya setempat. Dengan adanya upaya ini jalinan antara orang tua, masyarakat dan sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan serta meningkatkan keperdulian terhadap anak-anak di sekolah.
Oleh karena itulah, gagasan tentang perlunya didirikan sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya Komite Sekolah, kepala sekolah dan para penyelenggara serta para pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan bertanggungjawab kepada komite tersebut.
Menyikapi sorotan masyarakat terhadap beragam persoalan yang berkaitan dengan guru. Sudah saatnya guru membuktikan diri dengan menjadi guru profesional yang tidak terlena dengan sanjungan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Mencoba keluar dari belenggu-belenggu sanjungan yang justru membuat terpasung dan tersandung. Memenuhi sejumlah persyaratan minimal sebagai guru profesional, antara lain, memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya dan selalu melakukan pengembangan diri secara berkesinambungan melalui berbagai media seperti buku, internet, seminar, pelatihan dan sebagainya. Wallahuálam.
Makkah, 02 Mei 2010

Senin, 28 Februari 2011

Pendidikan Anak-Anak TKI di Makkah Sebuah Dilema

Beberapa waktu yang lalu saya di telpon seseorang yang katanya mendapatkan nomor handphone saya dari salah seorang temannya. Keinginannya untuk bertemu saya sambut karena dia menyebutkan beberapa nama yang memang saya kenal dengan baik dan dia tidak keberatan ketika saya menawarkan untuk bertemu di rumah saya. Tidak banyak basa basi dia kemudian menyampaikan banyak hal berkaitan dengan anak-anak warga Indonesia yang bermukim di Makkah yang tidak bisa bersekolah.
Saya sempat sedikit tercekat ketika dia bilang bahwa anak-anak mukimin Indonesia di sini juga memiliki hak yang sama dengan teman-teman sebayanya di Indonesia untuk menikmati kemerdekaan bangsanya serta mendapatkan pendidikan yang layak. Ironis memang, saat dimana anak-anak kita di tanah air sudah menikmati sekolah dengan gratis, di sini mereka kesulitan karena harus berurusan denga kebijakan pemerintah setempat. Untuk bisa masuk ke sekolah formal baik sekolah Indonesia maupun sekolah Saudi Arabia, kelengkapan dokumen anak seperti paspor, iqamah, akta kelahiran dan bukti sudah lengkap imunisasi merupakan syarat yang tidak bisa di tawar-tawar lagi. Sementara ada ratusan anak-anak TKI yang bermukim di sini tidak/belum memiliki kelengkapan dokumen tersebut.  Hal ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, kedua orang tuanya atau salah satu dari orangtuanya tidak memiliki dokumen resmi keimigrasian (iqamah) sehingga berdampak pada dokumen anak-anaknya yang tidak bisa diurus, terjadinya perkawinan antar negara juga menjadi penyebab sulitnya pengurusan dokumen keimigrasian, belum lagi anak-anak hasil perkawinan tidak resmi dari orangtuanya yang juga tidak resmi.
Terlepas dari itu semua, nasib pendidikan anak-anak bangsa ini perlu mendapat perhatian yang serius. Dilematis memang, di satu sisi memberikan pelayanan pendidikan adalah suatu kewajiban sementara di sisi lain peraturan pemerintah di sini sangat ketat terkait dengan masalah keimigrasian. Ancaman di deportasi dari Tanah Suci ini mengintai siapa saja yang terbukti tidak memiliki dokumen resmi (ilegal) termasuk orang yang kebetulan sedang bersama-sama dengan warga ilegal. Jadi siapapun akan berpikir berulang kali untuk sengaja melibatkan diri bersama warga ilegal (sekalipun untuk mengajar) kalau masih berharap untuk bisa tetap tinggal lebih lama menetap di sini.
Butuh nyali dan strategi untuk membantu memberikan perlindungan pendidikan bagi anak-anak non-iqamah ini. Termasuk kesiapan di deportasi apabila sewaktu-waktu nasib sedang tidak beruntung terkena razia petugas. Melakukan pembelajaran melalui program Kejar Paket (sebagaimana yang sudah berjalan dibeberapa daerah di Saudi Arabia seperti Jeddah, Madinah, Damam dan lain-lain) adalah salah satu cara untuk memberikan pelayanan pendidikan. Dan sudah barang tentu untuk warga belajar non-iqamah ini diperlukan sikap berhati-hati dan toleransi yang ekstra.
Adanya sebuah lembaga pendidikan formal (Sekolah Indonesia di Makkah) yang kondusif dan refresentatif merupakan keinginan hampir semua warga masyarakat Indonesia yang bermukim di Makkah. Dengan harapan lembaga tersebut bisa memberikan pelayanan pendidikan yang maksimal bagi semua anak negeri di sini sehingga ketika mereka harus kembali ke tanah air pelajaran anak-anaknya tidak tertinggal dari teman-temannya.
Keberadaan sekolah Indonesia di Makkah yang resmi “memiliki ijin operasional baik dari Kemdiknas maupun Kementerian Pendidikan Saudi Arabia” di bawah pembinaan langsung perwakilan Indonesia setempat, tidak hanya sekedar sebagai sekolah perlindungan tetapi lebih dari itu akan menjadi kebanggaan bagi warga Indonesia di Makkah karena keberadaannya sejajar dengan sekolah-sekolah asing yang berada di Makkah seperti Pakistan, India, Turki, Bangladesh, dll. Wallahu’alam.